Minggu, 07 November 2010

Dongeng dari Mesir


Dewi sungai nil

 
Ahotep menatap Hayla, isterinya dengan sayang. Kerutan di dahinya menunjukkan ia sudah tak muda lagi. Tapi rasa cintanya tak sedikit pun memudar. Seperti hari-hari kemarin, mendung menggayuti wajah cantiknya. Mereka telah menikah selama lebih dari 20 tahun. Selama itu pula Ahotep telah membuktikan janjinya untuk memberikan kehidupan yang baik pada Hayla. Mereka tinggal di rumah besar yang mewah. Kekayaan mereka bisa menghidupi seratus anak. Sayang, mereka bahkan tak memiliki satu pun. Berjuta doa telah mereka panjatkan. Ribuan cara telah mereka lakukan. Sudah tak terhitung berapa ton bunga yang mereka sebar di sungai Nil dengan harapan Dewi Nil mau menolong mereka. Semuanya tak membuahkan hasil. Harapan mereka semakin memudar seiring usia mereka yang semakin uzur.
“Suamiku, sepertinya Dewi Nil sedang pergi ke hulu, makanya dia tidak bisa
mendengar doa kita,” bisik Hayla suatu sore.
“Hmmm mungkin kau benar istriku. Kalau Dewi Nil berada di hulu, kita juga harus pergi ke hulu. Jika takdir kita baik, Dewi Nil akan mendengar doa kita. Baiklah, aku akan mempersiapkan perahu dan perbekalan. Kita akan berangkat nanti malam.” Ahotep bangkit dan menepuk pipi isterinya lembut.
Purnama tak tertutup awan malam itu. Ahotep tanpa kesulitan mengarahkan perahunya melawan arus sungai Nil. Sepanjang jalan mereka terus berdoa dan menaburkan bunga-bunga. Semakin malam udara semakin dingin, namun mereka tidak perduli. Doa mereka bahkan semakin khusyuk. Angin yang berhembus mendorong perahu kecil mereka semakin dekat ke hulu.
Entah kenapa tiba-tiba perahu kecil mereka berhenti berlayar. Ahotep dan Halya saling berpandangan dengan heran. Ahotep mencoba mendayung dengan sekuat tenaga. Perahu mereka hanya berputar-putar di tempat. Lalu angin mulai bertiup dengan kencang, semakin kencang. Perahu kecil itu bergoyang-goyang hebat.
“A..ada apa ini? Suamiku, aku takut perahu kita akan terbalik.”  Hayla mencengkram pinggir perahu dengan cemas.
“Aku tak tahu istriku. Apa kita membuat kesalahan hingga Dewi Nil murka?” Ahotep sama ketakutannya dengan Hayla.
Mereka dikejutkan dengan terdengarnya suara gaib. Sepertinya datang dari dalam sungai. Suaranya berat tapi merdu meski deru angin meliuk-liukan volumenya.
“Wahai Ahotep dan Hayla, aku Dewi Sungai Nil. Hentikan ratapanmu! Apakah  kalian benar-benar menginginkan seorang anak sebagai keturunan kalian? Seberapa kuatkah keinginan kalian? Aku akan mengabulkan permintaan kalian. Tapi ingatlah wahai Ahotep dan Hayla, aku hanya meminta satu hal. Jika nanti kalian telah memiliki anak, jangan sekali-kali kalian berlayar di sungai Nil ini bersama anak kalian. Sekarang pulanglah dan nantikan anak kalian!”
Angin kembali bertiup tenang bersamaan dengan hilangnya suara gaib tersebut. Kapal pun kembali berlayar. Kali ini Ahotep mendayung perahunya cepat-cepat, tak sabar untuk segera pulang ke rumah. Hati mereka mengembang karena bahagia. Hayla memeluk suaminya dan menangis terharu. Sebentar lagi kehidupan mereka akan terasa lengkap.
“Oh, terima kasih Tuhan. Akhirnya doa kami dikabulkan.” isaknya.
Safira, artinya pujaan hati, bayi kecil yang cantik itu lahir dengan tangisnya yang keras di pagi buta. Mengumandangkan kehadirannya di dunia. Ia begitu spesial bagi masyarakat desa kecil itu, bukan hanya karena ia teramat cantik tapi juga karena ia lahir dari pasangan Ahotep dan Halya yang bukan pasangan muda.
Raja Mesir yang memerintah kala itu amat gemar beristri. Selirnya sudah tak terhitung banyaknya, tapi alisnya masih terangkat saat telinganya mendengar berita tentang kecantikan seorang gadis desa bernama Safira. Ia menunjuk pegawai kepercayaannya untuk membawakan hadiah-hadiah mewah ke rumah Safira. Raja ingin melamarnya.
Utusan tersebut membawa banyak barang pinangan seperti perhiasan, kain sutra, uang dan barang2 berharga lainnya. Halya sangat bangga putrinya dilamar oleh Raja.
“Suatu kehormatan bagi kami bisa menerima lamaran dari Raja. Kami dengan senang hati menerimanya. Lusa kami sendiri yang akan mengantar anak kami menghadap raja.”
Ahotep kurang setuju dengan keputusan Halya. “Kenapa buru-buru sih? Ingat, raja tinggal sangat jauh di hulu sungai dan kita bahkan belum meminta persetujuan Safira.”
“Ini kesempatan emas buat Safira. Tidak semua gadis beruntung bisa dilamar oleh Raja. Tidak ada alasan menolaknya. Ini kehormatan buat keluarga kita.”
Halya tidak menggubris protes suaminya juga tangisan Safira yang tidak mau dirinya dijadikan permaisuri Raja. Ia tidak suka menyakiti hati istri Raja lainnya.
Tangisan tinggal tangisan. Keputusan Halya sudah membatu. Matanya buta oleh kehormatan yang akan disandangnya. Ibu sang permaisuri. Ibu mana yang tak bangga dengan status tersebut.
Kapal telah disiapkan. Perbekalan pun telah dimuat. Halya mendandani Safira secantik mungkin. Safira yang kecantikannya seperti putri, hari ini menjelma menjadi dewi. Sayang sang dewi tampak muram. Ia tidak bersedia membuka mulutnya. Hanya matanya yang sedari tadi menitikkan bulir-bulir air mata. Mereka berangkat menuju hulu. Ahotep memeluk putrinya erat-erat, mencoba meredakan tangisnya. Sementara pandangan Hayla lurus ke depan, mungkin ia berharap segera sampai di istana Raja.
Di tengah perjalanan, angin tiba-tiba berhembus kencang membuat perahu mereka berhenti mendadak. Lalu sebuah suara yang berat tapi merdu membahana di telinga mereka.
“Wahai Ahotep dan Halya, kau lupa pesanku dulu? Kenapa kau berani membawa anakmu berlayar di sungai Nil padahal aku sudah melarangnya. Sekarang aku akan ambil kembali apa yang telah aku berikan. Ketahuilah bahwa Safira adalah Dewi sungai Nil sendiri. Hari ini dia harus kembali dan memimpin rakyatnya!”
Ahotep dan Halya terkesiap. Mereka telah melupakan janji mereka. Lalu tanpa sempat dicegah, Safira berdiri dan melompat ke sungai, kemudian hilang ditelan dalamnya air sungai Nil.
                                                   **  TAMAT **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar